Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

CHTHONIC : Macan Metal Asia Berbalut Politik



CHTHONIC, band metal dengan segala kontroversi, ambisi dan muatan budaya hingga politik menyatu menjadi satu kekuatan yang patut diacungi jempol. Band yang begitu mencintai tanah airnya lewat budaya asli masyarakatnya. Bahkan perjuangan untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan Taiwan pun bisa dilakukan lewat sebuah musik Metal.  Band yang mendapat julukan Black Sabbath Asia ini layak menjadi salah satu band metal terbaik Asia.

Misi lain dengan mengangkat sejarah kuno dan mitologi lokal melesat ke  era modern saat ini melalui “a pan green focus” dimana mengajak membangun kesadaran akan mitos – mitos di Taiwan dan peristiwa – peristiwa tragis yang menjadi sejarah negara tersebut.

Mereka menggabungkan pengaruh dari musik tradisional Taiwan seperti alat musik klasik khas China, Erhu dengan alat musik modern. Sungguh suatu aliran musik symphonic black metal dengan aroma yang berbeda coba disuguhkan band yang berdiri sejak tahun 1995 silam tersebut.

CHTHONIC, berasal dari istilah bahasa Yunani yang berarti “Mengacu pada bumi dan dunia bawah”. Freddy Lim bersama – sama teman SMA dan kuliahnya yang membidani lahirnya CHTHONIC. 3 tahun kemudian mereka akhirnya merilis debut album bertitel “Where the Ancestors Soul Gathered”dan mulai dikenal di jagad permusikan di Taiwan. Band merilis album tersebut secara independen dan diluar dugaan sukses menduduki posisi # 2 Di “the Tower Records pop music chart for Asia”.

Di tahun – tahun awal mereka mencoba gaya yang berbeda dari gaya Heavy Metal seperti layaknya band pada umumnya di era itu. Lim menyanyikan dengan vokal bersih (clean vokal) di “The Breath of Ocean” – Culvating dapat dikategorikan sebagai power metal. Namun di lagu “Decomposition of the Mother Isle”- Aboriginal Gods Enthroned” adalah corak black metal.

Produktivitas mereka diuji dan setahun kemudian tepatnya tahun 1999 mereka menggelindingkan album kedua bertajuk “9th Empyrean” melalui Crystal Records Taiwan. Mengekor album pertama, album ini pun diapresiasi sangat baik penikmat musik bising. Posisi # 1 di “the Tower Records pop music chart for Asia” pun mereka raih dan ditahbiskan menjadi salah satu dari 10 album Mandarin terbaik tahun 1999 oleh majalah MCB Hongkong. Di album ini gaya symphonic black metal kental terasa dan menjadi tonggak awal mereka bermain di jalur ini. Lagu “Guard the Isle Eternally” menjadi lagu pertama mereka yang menggabungkan melodi pentatonik Asia dengan aroma black metal. Di tahun 1999 ini juga Doris Yeh mulai menghiasi etalase line up CHTHONIC dan konon sejak bergabungnya si sexy Yeh nama CHTHONIC meroket tidak hanya di kawasan Asia Selatan namun hingga di dunia Internasional.

Tahun 2000, CHTHONIC tampil di “Fuji Rock Festival”, salah satu festival rock terbesar di Jepang. Dan gong  petualang di kancah internasional pun di mulai dari Jepang , Hong Kong, Malaysia hingga Singapura. Di Hong Kong mereka menandatangani kontrak kerjasama dengan Catalyst Action Records dan di Jepang Soundholic menjadi distributor mereka.

Tahun 2001, mereka pun mulai project pembuatan album ketiga mereka “Relentless Recurrence”, yang didasarkan oleh cerita hantu legendaris dari Taiwan berjudul “Lin-tou Jie”. Album ini direkam di Denmark dan dirilis di Taiwan oleh Crystal Records tahun 2002.

Merambah Eropa & USA
Posisi melesat bak meteor sudah disiapkan CHTHONIC, dan pada tahun 2002 Freddy Lim cs menandatangani kontrak dengan Nightfall Records yang berkedudukan di Amerika Serikat dan merilis ulang “9th Empyrean” dalam versi bahasa Inggris. Hal ini menandai untuk album – album selanjutnya dari CHTHONIC dirilis secara Internasional dan dalam versi bahasa Inggris.

Di tahun 2002 juga mereka tampil di beberapa festival di belahan Amerika, Jepang dan Hong Kong, termasuk tour bareng dengan band black metal kawakan asal Swedia Dark Funeral.

Tahun 2003 mereka merilis single “Satan’s Horns”, dimana single tersebut dijadikan sebagai lagu tema film “Freddy vs Jason”. Di tahun itu juga mereka memenangi penghargaan “The Best Band Award” di Perayaan “Taiwan Golden Melodies Award”.

Tahun 2005 mereka merilis album keempat mereka “Seediq Bale”, yang didasarkan pada insiden Wushe. Di album ini symponic black metal dicampur dengan unsur – unsur Taiwan dengan penggunaan Erhu diperbanyak. Album ini dirilis dalam bahasa Mandarin dan Inggris.

Awal tahun 2006 CHTHONIC tampil di konser “A Decade on the Throne” di Huashan Culture Park Taipeh. Untuk merayakan ultah band ke-10 mereka merilis DVD konser tersebut, album kompilasi Pandemonium dan buku CHTHONIC Dynasty melalui Eurasian Books.

Kontroversi album “Seediq Bale” membuat album tersebut diproduksi dalam versi bahasa Inggris dan dilempar pada tahun tahun 2006 dan 2007 di beberapa negara. Untuk Jepang dirilis oleh Howling Bull dan untuk Amerika bagian Utara melalui Megaforce Records, sedangkan untuk konsumsi Eropa dirilis oleh SPV Records. Selain itu album “Seediq Bale” juga dirilis di beberapa negara Amerika Selatan dan Asia.

Tahun 2007 CHTHONIC mulai berani menyuarakan “wajah” politisnya, hingga mereka menetapkan  tahun 2007 sebagai  “Unlimited Taiwan Tour” untuk menarik kesadaran PBB karena tidak mengakui kedaulatan Taiwan. Protes simbolik ini diliput oleh media – media mainstream asal Amerika Serikat seperti TV NBC, New York Times, Los Angeles Times, Washington Post dan lainnya. “Perjuangan” politik lewat musik metal mampu menunjukkan kepada dunia tentang kedudukan Taiwan.

Di tahun 2007 mereka juga tour dibeberapa negara Eropa bersama dengan band – band papan atas seperti Nile, Daath, Obituary, Cradle of Filth, Marduk, Ensiferum dan 3 Inches of Blood. Sebuah buku memor romantisme perjuangan beralaskan musik berjudul “Guts” , yang menampilkan buku harian “Unlimited Taiwan Tour” dirilis di Eropa dan Asia.

Tahun 2009, CHTHONIC merilis album “Mirror of Retribution” melalui Spinefarm Records. Album ini diproduseri oleh gitaris ANTHRAX, Rob Caggiano. “Mirror of Retribution” didasarkan dari “The 228 Incident” dan menampilkan penyanyi tamu seperti Sandee Chan dan Francine Boucher dari band Echoes of Eternity.  Album dirilis dalam 2 bahasa yaitu Taiwan dan Inggris. Majalah musik asal Inggris Kerrang! Menjuluki album tersebut “Top-Notch” Metal dan Freddy Lim muncul di sampul majalah “Terrorizer Magazine”.

Di tahun 2009 dan 2010, CHTONIC  makin kinclong dan melanjutkan tour dunianya bersama  Satyricon, Bleeding Through dan Arch Enemy dan ditambah penampilan mereka di beberapa festival musik metal besar di Eropa dan Asia. Pada tahun 2010 mereka merilis single “Painkiller” secara digital yang merupakan cover dari band legendaris, Judas Priest.

Tahun 2011, album keenam “Takasago Army” dirilis melalui Spinefarm Records. Album tersebut diilhami oleh kisah tentara Taiwan yang dipaksa untuk berperang bagi Jepang pada kisah Perang Dunia II. Album ini sempat nangkring di posisi # 109 di “Japan’s Oricon Music Chart” dan video klip salah satu single yang terdapat di album tersebut yang berjudul “Takao” dinominasikan pada ajang penghargaan “Golden Melody Award 2012” untuk kategori The Best Music Video di Taiwan. Selain itu album “Takasago Army” nongol di majalah – majalah metal internasional, seperti Revolver, Terrorizer dan Metal Hammer. Sebuah webzine bernama Metal Storm dan Boulevard Brutal menempatkan album “Takasago Army” sebagai album melodic black metal terbaik tahun 2012.

Tahun 2013, tepatnya tanggal 15 Januari mereka mulai merekam project album ketujuh mereka yang bertitel “Bu Tik” di Sweet Spot Studios  Swedia dan rilis per 29 Mei melalui Spinefarm Records.


SOSOK SENTRAL DI CHTHONIC

DORIS YEH,
Si cantik mulus menusuk sukma ini menjadi icon dari CHTHONIC. Mengawali langkah dari dunia model, Yeh justru memutuskan untuk “menjerumuskan” dirinya di ranah musik metal.  Namun dari sinilah sosok Yeh menjadi begitu terkenal dan menyeruak menjadi buah bibir. Kembangnya kaum metalhead menempel kuat di sosok penggemar band SIGUR ROS ini.


Pembetot bass bernama stage “Thunder Tears” ini sanggup “mencongkel” mata liar para metalhead lewat aksi – aksinya yang cadas dengan “pakaian – pakaian setengah jadinya”. Doris Yeh mampu merubah diri menjadi sosok simbol sex berkat sex appeal yang membungkus dirinya. Tak kurang beberapa majalah khusus dewasa memajang pose menantangnya sebagai sampul majalah, seperti “Body Magazine” versi terbitan Taiwan dan majalah “For Him Magazine” (FHM) versi Taiwan, bahkan majalah musik terkemuka “Revolver” menempatkan dirinya menjadi salah satu wanita terseksi di dunia musik.

Yeh, selain garang di stage, ternyata juga garang sebagai aktivis yang memperjuangkan hak asasi manusia dan para aktivis di Taiwan.

Kecakapan dan ketegasannya, membuat Ia dipercaya mengemban tugas sebagai juru bicara dan manajer bisnis band mengambil alih peran Freddy Lim sejak dia membentuk band ini tahun 1995 silam. Peran itu dinilai pas hingga publikasi besar – besaran band mengena sasaran. Selain nama band terangkat, posisi politik Taiwan juga ikut diperbincangkan hingga dunia menoleh tentang kondisi yang terjadi di negara tersebut.

FREDDY LIM
Selain sebagai seniman, Freddy Lim, sang vokalis adalah aktivis politik yang mendukung kemerdekaan bagi Taiwan dan penentuan nasib sendiri bagi bangsa Tibet dan Uighurs. Freedy Lim menjadi Presiden Amnesty Internasional Taiwan sejak 2010 lalu dan Ia ikut serta sebagai motor terselenggaranya konser kebebasan bagi bangsa Tibet di Taiwan dan Festival musik Internasional untuk memperingati 60 tahun peristiwa “228 incident” dengan titel “Spirit of Taiwan : With Justice We Cure This Nation”. Ancaman dan intimidasi kerap diterima Freddy Lim dalam perjuangannya namun Ia tak gentar untuk terus di garis depan bagi negaranya.